Sabtu, 14 Mei 2011

Rebutlah Gelar Wanita Sholehah


Pertama-tama adalah mesti engkau sadari, bahwa sesungguhnya aku tak akan menilai kecantikan wajahmu dibalik jilbab yan engkau kenakan, serta harta yang kau miliki sebagai daya tarik untuk menikahimu. Tapi kecantikan hati, perilaku, serta ketaatanmu kepada Dienul Islam itu yang utama. Memang hal ini sangat musykil di zaman yang telah penuh dengan noda-noda hitam akibat perbuatan manusia, sehingga wanita-wanitanya sudah tidak malu lagi untuk menjual kecantikannya dan berlomba-lomba memperlihatkan aurat dengan sebebas-bebasnya demi memuaskan hawa nafsu jahatnya. Namun itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, kepada kita melalui haditsnya :

Janganlah engkau peristrikan wanita karena hartanya, sebab hartanya itu menyebabkan mereka sombong. Dan jangan pula kamu peristrikan wanita karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikannya itu dapat menghinakan dan merendahkan martabat mereka sendiri. Namun peristrikan wanita atas dasar Diennya. Sesungguhnya budak hitam legam kulitnya tetapi Dienya lebih baik, lebih patut kamu peristrikan“. (HR. Bukhori)

Dan Allah pun tak akan melihat kebagusan wajah dan bentuk jasadmu. Tapi Dia menilai hati dan amal yang kau lakukan. Hendaknya engkau yakin bahwa wanita-wanita salafusshaleh adalah panutanmu, yang telah mendapat bimbingan dari nabi Muhammad SAW.

Contohlah Ummu Khomsa yang tersenyum gembira mendengar anak-anaknya gugur dalam medan pertempuran. Tentunya engkau heran, mengapa seorang ibu seperti itu ? jawabnya adalah karena ia yakin bahwa jannah telah menanti anaknya di akhirat, sedangkan engkau tahu, tak seorangpun yang tidak menginginkan akhir hidup di tempat yang penuh kenikmatan itu.

Katakanlah kepada anak-anakmu kelak :
…janganlah engkau bimbang dan ragu wahai anakku, kalau kamu syahid daripada sibuk mengumpulkan harta dan memburu pangkat. Maka kalau kamu ingin termasuk ke dalam golongan-golongan pejuang ISLAM yang benar-benar memperjuangkan hak Allah dan Rasul-Nya. Serahkan dirimu dan ketaqwaan yang kuat dan tanamkan pula dalam hatimu iman serta keinginan untuk menemuin-Nya secara syahid. Bayangkanlah bahwa jannah sedang menanti, bersama para bidadari yang sedang berhias menanti kekasih-kekasihnya, yaitu kamu sendiri. 
Seperti Firman Allah :
“Dan didalam Jannah itu ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik” (QS 56 : 22-23) 
Ajarkanlah pada anak-anak kita kelak, bahwa hidup dalam ISLAM tidak berarti mencari kenikmatan semu di dunia ini sehingga mereka bersenang-senang didalamnya dan lupa akan Akhirat. Padahal Rasulullah mengajarkan “ Addunya mazra’atul akhiroh (Dunia adalah ladangnya akhirat). Jadi dunia bukan tujuan akhir, tapi hanya sekedar jembatan untuk menuju kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal sehingga mereka mengerti bahwa mencari keridhoan Allah berarti pengorbanan yang terus menerus, Seperti Firman-Nya :

“ Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah dan Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”. (QS. Al Baqarah : 207)

Akhirnya merekapun tahu bahwa jalan yang mereka pilih itu tidak menjanjikan harta di dunia ini yang banyak, rumah mewah, kendaraan yang banyak, atau kasur-kasur yang empuk, pangkat dan wanita, tapi jalan mereka semua adalah jalan yang penuh dengan duri-duri cobaan serta seribu datu macam tantangan. Karena Allah tidak akan memberi Jannah kepada kita dengan harga yang murah.

Berdo’alah kepada-Nya agar engkau lahirkan kelak dari rahimmu seorang anak pewaris perjuangan nabi-nabi-Nya yang senantiasa mereka mendo’akan kita. Didiklah mereka agar taat dan berbuat baik kepada kita serta tidak menyekutukan Allah, seperti yang diwasiatkan Luqman kepada anak-anaknya (31:31). Fahamkan mereka bahwa pewaris perjuangan Rasul dan Nabi bukanlah berarti mereka hanya menjadi pejuang di medan jihad, tapi juga seorang abid (zuhud) di malam hari. Anak kita kelak adalah amanah dari-Nya oleh sebab itu Allah akan murka seandainya kita menyia-nyiakannya. Pembentukan pribadi anak itu sangat tergantung kepada kita yang mendidiknya. Apakah ia akan menjadi orang yang beriman atau sebaliknya. Hendaklah engkau perhatikan makanan untuk mereka, pergaulannya serta pilihkan pendidikan yang mereka ikuti.

Jadilah engkau seperti Siti Maryam yang dapat mendidik Isa a.s. di tengah-tengah cemoohan dan cacian masyarakat. Atau Siti Asiyah(istri fir'aun) yang dapat memupuk keimanan Musa a.s. di dalam istana yang penuh dengan kedurhakaan dan kekufuran. Kemudian Masyitoh yang mampu memantapkan hati anak-anaknya walaupun harus menghadapi air yang mendidih demi kebenaran. Atau deperti Siti Khadijah R.ha. Aisyah R.ha, Sayidina Fatimah R.ha yang membesarkan anak-anaknya di tengah-tengah kemiskinan.

Bila engkau telah memahami tugas terhadap anak-anakmu dalam Islam, maka mudah-mudahan Allah akan memberkahi ktia dengan memberikan anak-anak yang sholeh, yang bersedia mengorbankan nyawanya demi mematuhi perintah Allah, seharusnyalah engkau faham juga bahwa dunia ini adalah perhiasan dan sebaik baiknya perhiasan adalah wanita sholehah.

Dan salah satu ciri yang harus engkau miliki jika ingin menjadi wanita sholehah dan bersedia untuk taat terhadap suamimu kelak seperti Firman-Nya dalam surat An-Nisaa :34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dan istri yang baik adalah mereka yang setia (taat) kepada suami dan selalu memelihara kehormatannya selama suaminya tidak ada di rumah.

Hendaklah engkau berbeda dengan wanita-wanita saat ini yang benyak melalaikan suami dan anak-anaknya, mereka lebih sibuk dengan karir, arisan, undangan, atau menyia-nyiakan uang dan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna, serta cenderung pamer wajah dan aurat kepada yang bukan muhrimnya. Carilah ridha suami dengan cara-cara yang telah diyariatkan Islam, karena Rasulullah telah bersabda :

“Wahai Siti Fatimah, kalau engkau mati dalam keadaan Ali tidak ridha padamu, niscaya aku ayahandamu tidak akan menyolatkanmu“.

Jadilah engkau perhiasan yang tinggi nilainya di dalam rumah tangga, sumber penyejuk dan kebahagiaan hati suami, berhiaslah engkau untuk menyenangkan suami, jagalah hatinya agar engkau tak menyakiti dia. Walaupun dengan hal-hal yang kecil. Katakan kepadaku jika akan berangkat mencari nafkah :

“Wahai suamiku carilah rezeki yang halal disisi Allah, janganlah engkau pulang membawa rezeki yang haram untuk kami. Kami rela berlapar dan hidup susah dengan makanan yang halal.”

Dan janganlah engkau cegah, jika aku hendak meninggalkanmu berhari-hari karena memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Tabahlah seperti tabahnya Siti Hajar dan Ismail yang ditinggalkan Ibrahim a.s. ditengah padang pasir yang tandus. Jika aku mengikuti jejak yasir, maka ikutilah di belakangku sebagai sumayyah, bila kukatakan kepadamu “perjuangan itu pahit” maka jawablah olehmu “Jannah itu Manis”

Sudah kiranya yang ingin aku sampaikan padamu, hendaklah engkau pahami dan ikuti seperti yang telah aku tunjukkan kepadamu tapi harus diingat bahwa engkau melakukannya karena Allah bukan karena aku, semoga Allah meridhoi kita dan memberi kemudahan dalam mengikuti petunjuknya, amin.

Ummu Dzar Al-Ghifariyah: Teladan Isteri Setia Pendamping Suami


Shahabiyah yang akan kita telusuri kisahnya kali ini adalah Ummu Dzar, istri shahabat  Abu Dzar Al-Ghifari. Beliau adalah wanita cerdas berhati bersih. Sebelum masuk Islam, Ummu Dzar sudah menyadari bahwa patung-patung yang mereka sembah tidak dapat memberi manfa’at dan mudharat. Alhamdulillah, ia mendapat hidayah taufik untuk menerima Islam sebagai pedoman hidup. Setelah Islam mengeluarkannya dari kejahilan/ kebodohan dan membawanya kepada nur yang terang benderang. Dan memberi keselamatan abadi. Ummu Dzar menggenggam erat dan mengigit kuat dengan gerahamnya, risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
 Bukan hanya cerdas dan lurus hati, Ummu Dzar adalah sosok seorang istri yang setia mendampingi suami dalam suka dan duka.Kesetiaannya, layak kita teladani. Betapa tidak, beliau mengikhlasan diri menemani dan merawat sang suami hingga ajal menjemput . Dalam kesendirian di padang pasir liar nan luas membentang.

Rabadzah, tempat tinggal Abu Dzar Al-Ghifari

Karena adanya perbedaan pendapat, dengan Utsman bin Affan, maka Abu Dzar Al-Ghifari dan keluarganya memilih Rabadzah, padang pasir liar tak bertepi sebagai tempat tinggal mereka. Sebuah keputusan yang sangat berani. Karena daerah tersebut sangat  jarang dilalui kafilah. Dan mereka hidup tanpa ada tetangga di kanan dan kirinya.

Sang istri yang shalihah, tanpa keluh kesah , dengan setia, mendampingi Abu Dzar Al-Ghifari dan anaknya. Hidup dalam kesederhanaan yang amat sangat. Ditambah lagi, di kemudian hari Abu Dzar Al-Ghifari menderita sakit yang cukup parah. Tanpa bosan dan tanpa kenal lelah dengan senyum penuh keikhlasan ia terus merawat suaminya. Sungguh sebuah bakti yang mulia karena semata-mata dilandasi oleh keimanan dan ketaatan.
Menjelang ajal menjemput

Ajal pun semakin dekat, Ummu Dzar selalu berada di sisi sang suami untuk mengurus segala keperluannya. Melihat kondisi, yang semakin parah … Ummu Dzar akhirnya menangis di samping sang suami.

Dari Ummu Dzaar, dia berkata, “ Tatkala kematian datang menjemput Abu Dzar, aku menangis.”
Abu Dzar bertanya, “ Apa yang kamu tangiskan, padahal maut itu pasti datang ?”

Aku menjawab,” Bagaimana aku tidak menangis. Engkau akan mati ditanah terasing rimba belantara. Tiada kain yang cukup untuk digunakan sebagai kafanmu. Engkau tidak punya apa-apa, padahal engkau sangat memerlukan itu.”
Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah, seperti layaknya orang yang akan merantau jauh. Lalu berkata kepada istrinya itu,” Janganlah menangis!  Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya saw, saya dengar  Beliau saw  bersabda,” Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman!”

Semua yang ada di majelis Rasulullah saw telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah kaum muslimin. Tidak ada lagi yang hidup di antara mereka kecuali aku.

Nah, inilah aku sekarang menghadapi maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalanan, kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang !

Demi Allah, saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi !”

Ummu Dzaar berkata,” Aku lari menuju bukit pasir, kemudian aku kembali merawat sakitnya.
Akhwati … mari kita merenung sejenak, dan berusaha membayangkan bagaimana gigihnya Ummu Dzaar bertahan dalam kesabaran… Semoga Allah SWT menuangkan kesabaran dalam diri setiap kita, untuk istiqomah dalam meniti jalan kebenaran. Yang sejatinya penuh ujian dan cobaan. Semoga semua ujian dan cobaan yang kita hadapi dalam perjalan hidup ini, menjadikan kita bertambah kuat atas idzinNya. Dan menghantarkan kita kepada khusnul khatimah, amiiin.
Tak berapa lama,  Abu Dzar pun kembali ke hadirat Allah SWT.Innalillahi wa inna illaihi rooji’un.

Kenyataan yang ada

Subhanallah... Apa yang diucapkan Abu Dzar sungguh menjadi kenyataan. Karena tentu saja dia tidak berbohong, dan pasti tidak dibohongi. Karena Rasulullah SAW adalah ma’shum. Beliau terbebas dari semua kesalahan, tidak pernah berbohong kepada siapapun hatta dalam candanya.

Tidak lama berselang, sesudah Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, tampak serombongan kafilah  yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu. Alhamdulillah kafilah itu adalah kafilah kaum mukminin yang  dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ibnu Mas’ud, merasa sangat trenyuh, karena ia melihat  sesosok tubuh yang terbujur seperti jenazah, sedang di sisinya duduk seorang perempuan tua, Ummu Dzar dan anaknya yang sedang menangis.
...Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzar, sangat layak dicontoh. Dia bersabar bersamanya menjalani kehidupan dalam keterasingan hingga akhir hayat.
Subhanallah! Betapa kesetiaan, ketegaran dan ketabahan Ummu Dzarsangat layak dicontoh. Dia bersabar bersamanya menjalani kehidupan dalam keterasingan hingga akhir hayat. Walaupun harus bertempat tinggal di  padang pasir liar, padahal usianya sudah sangat tua. Tanpa harta yang berharga, hingga kain untuk mengkafani suaminya pun tidak dimilikinya. Ummu Dzar tetap ikhlas melayani dan senantiasa memuliakannya.
 Ibnu Mas’ud, membelokkan tali kekangnya ke arah perempuan tua tersebut. Diikuti anggota rombongan dibelakangnya. Saat pandangan matanya tertuju pada tubuh sang jenazah … tampak olehnya wajah sahabatnya … sahabat seaqidah, sahabat seperjuangan dalam membela tegaknya Islam. Dialah Abu Dzar . Maka, air mata pun mengucur deras dari kedua pelupuk matanya. Innalillahi wa inna illaihi rooji’un. Ia pun berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah SAW. Anda berjalan sebatang kara. Mati sebatang kara. Dan dibangkitkan sebatang kara !”

Ibnu Mas’ud ra pun duduk, lalu bercerita kepada para sahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya.

‘ Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan nanti seorang diri !”

Ucapan itu terjadi di waktu Perang Tabuk, tahun kesembilan Hijriah.

Perang Tabuk

Perang Tabuk, adalah perang melawan pasukan Romawi yang cukup menakutkan. Mereka berada di satu tempat dan siap menggempur umat Islam.  Saat itu, musim panas teramat teriknya. Sehingga tidak banyak kaum muslimin yang menyambut seruan Rasulullah SAW.
 

Mereka yang ikut pun, akhirnya berguguran di tengah jalan, satu demi satu . Sebagian disebabkan azam yang tidak mantap. Abu Dzar sempat tertinggal oleh rombongan, karena keledai yang ditungganginya, berjalan sangat gontai. Disebabkan lapar yang sangat dan teriknya matahari yang membakar. Namun Abu Dzar tidak patah semangat. Apalagi mencari-cari alasan untuk izin dari berjihad meninggikan kalimahNYA.
Karena tidak ingin tertinggal dalam kesempatan jihad saat itu, Abu Dzar bertekad melanjutkan perjalanannya, mengejar rombongan Rasulullah saw Walaupun harus dengan berjalan kaki, sambil memikul beban bawaannya. Bayangkan … betapa kuat azamnya untuk menyertai Rasulullah saw, dalam perjalan jihadnya. Jauh berbeda dengan mereka yang sudah berguguran dalam perjalan itu.

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu akbar, usaha kerasnya berhasil . Atas izin Allah SWT Abu Dzar dapat bertemu kembali dengan rombongan Rasulullah saw saat mereka beristirahat. Kuatnya tekad dan besarnya keyakinan akan datangnya pertolongan Allah SWT, seringkali menjadikan hal yang seolah-olah tidak mungkin menjadi mungkin. Karena bagi Allah SWT semua hal adalah mudah. Kesungguhan hamba-hambaNya lah yang akan terus diuji.
 Sungguh, menggapai surga adalah  hal yang tidak mudah dan hanya diberikan kepada hamba-hambaNYA  yang terpilih …

http://www.voa-islam.com/photos/mumtaz/al-baqarah-214.jpg
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat” (Qs. Al-Baqarah 214).

Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw ikut memandikan, mengkafani dan menguburkannya. Selanjutnya ia menghibur keluarganya serta mengajak mereka kembali ke Madinah
Demikianlah sosok mukminah shalihah, yang menjadikan suaminya ridha, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya maka Allah SWT meridhai Ummu Dzarr dan menjadikannya ridha.
Maroji: 101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah SAW oleh Hepi Andi Bastoni.
             Mawar-Mawar Padang Pasir ( Masyahir an-Nisa’ al Muslimat ) oleh Ali bin Nayif asy-Syuhud

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites